SATU
Pagi yang cerah
menyambutku. Kokokan ayam peliharaan ayah seperti alarm yang membangunkanku
dari mimpi indah. Dengan bangkit sambil menguap yang diikuti aroma naga,
kulihat jam micky mouse di dinding kamarku. Ya, seperti biasa, jam 05.35. Segera
kulaksanakan pekerjaan rutinku. Mandi, makan, menyiapkan perlengkapan sekolah, dan
lain-lain, semuanya ku lakukan kurang lebih hanya satu jam.
“Juli, ini bekalnya
ketinggalan”, teriak mamaku dari dalam rumah saat aku sedang menghidupkan mesin
motorku. Ya, namaku Syarisya Juliana Kartini. Syarisya yang diambil dari nama
orang tuaku Syarif-Risya dan Juliana karena aku lahir bulan Juli. Sedangkan Kartini
diambil dari nama R.A Kartini yang diberikan oleh nenekku karena beliau sangat
mengagumi sosok pahlawan wanita yang satu ini.
“Oh iya, lupa Ma”,
ucapku sambil turun dari motor dan kemudian berjalan ke arah mamaku. Setelah
itu, segera ku starter lagi motor bebekku, lalu pergi dengan rute yang selalu
sama tiap harinya. Sampai-sampai, aku sudah hapal posisi lubang di jalan ini.
Ya, ada bebapa titik jalan yang lubangnya cukup dalam sehingga harus
pelan-pelan melewatinya. Hehhheehe.
Setelah kuparkirkan
motor bebekku, aku mulai berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah. Lurus,
kemudian belok kanan, itulah kelasku. Ya, kelas bertandakan papan yang tertulis
kelas X-1. Sudah hampir 7 bulan aku di sini, di kelas yang dihuni oleh 30 orang
siswa. SMA LUMINOUS adalah nama sekolahku. Sekolah peninggalan Belanda yang
masih kokoh berdiri dengan sedikit pemugaran dan penambahan bangunan di sana
sini. Sekolah yang lengkap dengan cerita mistis. Mulai dari hantu noni-noni
belanda yang sering bernyanyi dengan merdu, hingga hantu para korban kekejaman
Belanda yang terlihat berjalan berbaris dengan rantai terikat di kaki mereka. Memang
kedengarannya menyeramkan. Tapi, selama aku bersekolah di sini belum ada yang
terlihat dan terdengar olehku.
Hari-hariku berjalan
seperti biasa. Hari-hari yang diisi oleh
persahabatan dan cinta dari orang-orang terdekatku. Hari-hari yang dipenuhi
gelak tawa dan keceriaan. Aku memang beruntung karena memiliki teman dan
keluarga yang menyayangi dan memperhatikanku dengan ikhlas. “Terimakasih Tuhan
atas semua yang kau berikan padaku,”ucapku dalam hati.
Ada satu pengalaman
yang tak bisa kulupakan di sini. Ketika itu pulang sekolah, aku ke toilet sendirian
dan saat aku keluar dari salah satu biliknya ternyata aku sudah berada di
tempat lain dan sialnya aku tak bisa keluar karena pintunya terkunci. Ya, di
toilet yang sudah tak terpakai lagi. Tak terpakai sejak peristiwa pembunuhan
yang sampai sekarang masih penuh misteri itu. Peristiwa dua tahun silam saat
seorang siswa sekolahku dibunuh tanpa alasan yang jelas. Maksudku tak jelas
karena aku tak tahu jalan cerita yang sebenarnya dan aku tak mau mencari tahu
semua ini. Yang jelas, tiolet ini sudah di cap angker oleh seantero penghuni
sekolah. Aku tahu ini adalah toilet angker itu, karena sebelumnya anak-anak
kelasku pernah membuat film dokumenter untuk seru-seruan mengisi hari libur
berjudul “Toiletku Tak Terbukti Angker” yang membahas masalah toilet ini dan
untuk observasinya, kami menjelajah toilet ini bersama-sama dari sudut ke sudut.
Waktu itu memang tidak takut karena ramai, tapi sekarang aku sendiri. Aku berusaha
berteriak minta tolong. Tapi, sepertinya tak ada seorang pun yang mendengar. Ku
coba menelpon temanku dan berharap mereka bisa menolongku namun tak ada signal
di sini. Dengan gemetar, ku coba mengirim sms pada temanku. Lalu kembali ku
coba lagi menelpon. Namun, baru saja
terdengar nada sambung, tiba-tiba udara bertiup sangat kencang, dingin, dan
terasa mencengkam. Mataku terpejam dengan sendirinya dan aku terkejut saat membuka
mata. Aku seperti berada di tempat lain tapi aku mengenal tempat ini. Ya,
sekarang aku sadar berada di mana. Di tempat yang sama. Tapi anehnya, tempat
ini terlihat bersih dan terawat. Namun, kembali aku dikejutkan dengan suara
teriakan dan tak lama kemudian seorang laki-laki berseragam sekolah sama
sepertiku keluar dari salah satu bilik kamar kecil dengan muka dan baju penuh
bercakan darah. Entah mengapa aku jadi berani. Tanpa rasa takut, kulangkahkan
kakiku menuju tempat laki-laki tadi keluar. Kuintip dan terlihat olehku seorang
laki-laki yang berseragam sama terduduk di lantainya. Bajunya dan lantai itu
pun basah oleh darah. Aku menghampiri tuk berusaha menolong laki-laki itu.
Namun ketika aku mendekat, ia membisikkan sesuatu padaku dan menyebutkan sesuatu
“Berlian”, ujarnya lirih.
Saat ia selesai
menyebutkan kata-kata tersebut, mataku kembali terpejam dengan sendirinya dan
saat aku membuka mata, semua kembali seperti semula. Aku pun tertegun sejenak,
sampai akhirnya aku tersadar saat seseorang dari belakang memelukku.
“Juli, kamu gak apa-apa
kan?”, tanya Endah salah satu temanku yang tampaknya sangat cemas.
“Li, kamu kenapa? Kita
tuh khawatir banget loh waktu tau kamu sms tadi”, ucap temanku Ika yang tak
kalah cemasnya dengan Endah.
“Iya, untung kamu tadi
bilang mau ketoilet ke kita. Kalo enggakkan kita bingung mau cari kamu kemana,”
ucap Dita dengan antusias.
“Gak kok, aku gak
kenapa-kenapa. Aku tadi cuma iseng aja”, ucapku berusaha menenangkan
teman-temanku.
“Ih, kok kamu gitu sih
Li, kita tuh khawatir banget, jangan jadiin bahan becanda deh, gak lucu, ntar
kalo kamu bener kenapa-kenapa gimana? Ntar kita pikir kamu boong terus kita
biarin terus terjadi apa-apa gimana?,”oceh Ika pada ku.
“Sory, sory, aku ngaku
salah deh. Tapi, aku jadi terharu soalnya ternyata kalian peduli, u`re my best
friends,”ucapku sambil memeluk mereka semua.
Setelah adegan
peluk-pelukan kayak teletubbies, kami pun segera pergi meninggalkan tempat itu.
Sambil berjalan dihiasi senyuman, aku terus mengingat dan berpikir tentang apa
yang telah terjadi tadi. Apa itu hanya halusinasiku saja? atau itu memang
nyata?. Entahlah.
“Biarlah ku simpan
semua cerita aneh yang menimpaku hari ini. Toh, kalau aku ceritakan juga pasti
tak ada yang percaya padaku. Mungkin tadi memang hanya halusinasiku saja.
Halusinasi tentang toilet yang angker karena aku terlalu takut saat itu,”
ucapku dalam hati sambil menarik napas panjang.
Dua
“Ain't about the cha-ching,
cha-ching..Ain't about the ba-bling, ba-bling..Wanna make the world
dance..Forget about the price tag..”, nyanyiku sambil mendengar musik dari
hadphone.
“Fales tauuu,” ucap kakakku Ega sambil sedikit
menjitak kepalaku.
“Ihhh, kak Ega, sakit tau,”ucapku kesal.
“haha”, gelaknya. Belum usai kak Ega tertawa, bel
rumahku berbunyi. Seketika itu juga kak Ega terhenti tertawa. Segeraku bergegas
menuju pintu.
“Siapa ya, kok namu magrib-magrib sih,”pikirku dalam
hati.
Seorang laki-laki telah berdiri dihadapanku. Ia memegang
sebuah amplop besar dan dari motor yang ia gunakan aku tahu ia adalah seorang
pengantar surat.
“Ini mbak, ada surat buat Syarisya Juliana
Pertiwi,”ucap pengantar surat itu ramah.
“Oh iya, itu saya, dari siapa ya Pak?,”tanyaku.
“Wah, kalo itu mbak bisa liat langsung diamplopnya.
Tolong tanda tangan disini ya mbak,”ucapnya saat menyodorkan sebuah buku bukti
penerimaan surat.
“Makasih ya Pak,”ucapku sambil mengembalikan buku
tersebut. Pak pos itu pun tersenyum dan pamit padaku. Aku segera bergegas
menuju kamar ketika kakakku sedang fokus menonton acara pertandingan sepak bola
persahabatan antara Indonesia dan Filiphina.
Setibanya dikamar, kubuka amplop itu. Didalamnya
kutemukan sebuah foto dan sepucuk surat. Foto dua anak kecil yang sedang
bermain istana pasir. Senyum tulus dan tanpa beban terselip di antara pipi-pipi
tembam menggemaskan kedua anaktersebut. Mataku kemudian beralih ke sepucuk
surat yang ditulis menggunakan tinta hijau warna kesukaanku. Ku baca perlahan
sambil menghayati kata demi kata.
Dear my
chidhood princess,
Hai, apa kabar?
Masih ingat aku? Masih ingat lagu ini:
“Juju-Rere
selalu bersama. Susah senang selalu berdua. Dimana ada gula, disitu ada
semut. Dimana ada Juju, disitu ada Rere yang imut JJ”
Hmmmmmmm...
Ju, sory banget, bukan maksud aku mau pergi
tanpa ngasih tau kamu. Waktu itu aku kecelakaan dan orangtuaku langsung
bawa aku berobat ke Singapura karena luka dalamku cukup parah. Karena aku
gak mau buat kamu sedih, aku nyuruh mamaku buat gak kasih tau siapa-siapa
terutama kamu. lima bulan aku disana berusaha cepat sembuh biar aku bisa
cepet pulang dan ketemu kamu, sampai-sampai dokter takjub liat kondisi aku.
Tapi, ketika aku pulang, ternyata kamu udah pindah. Aku cuma tau kamu
pindah ke Bandung tapi gak ada yang tau alamat kamu. 2 bulan setelah kamu
pindah, aku dan keluarga juga harus pindah ke Kalimantan karena papa pindah
tugas. Mungkin ini yang membuat kita bener-bener hilang kontak. Setiap
liburan, aku selalu membujuk orang tuaku untuk liburan di Bandung. Itu
hanya kedokku, karena sebenarnya aku berharap bisa bertemu sama kamu. Tapi, Bandung itu memang luas ya J. Waktu DBL di Jakarta kemarin, aku ketemu sama Ega. Aku seneng akhirnya
bisa tau keberadaan kalian. Ega mungkin gak cerita, soalnya aku mau ini
jadi surpeise buat kamu. Ega juga ngasih liat foto kamu yang lagi tidur di
mobil ke aku. Lucu banget, apa lagi ada ilernya J. Buat saat ini aku udah cukup liat foto itu setiap saat dari wallpaper
hpku. Aku belum sempat nemuin kamu. Tapi aku bener-bener berharap aku bisa
ketemu kamu secepatnya.
Jaga kesehatan kamu, jangan telat makan,
terus jangan lupa berdoa biar kita bisa cepat ketemu. Okey. Udah dulu ya,
salam buat ega dan mama papa kamu. Oh ya, papa mama aku juga titip salam
buat kalian semua. Bye.
Your childhood prince,
Rere
|
“Kak
Egaaaaaaa,”teriakku.
“Juliii, jangan
teriak-teriak, gak enak didenger tetangga,”ucap mamaku yang ternyata sudah
pulang dan sedang duduk santai di ruang keluarga bersama papa dan kak Ega.
“Kak Ega, sini
deh,”perintahku sambil menarik paksa kak Ega yang sedang asyik menonton ke
dapur.
“Juli, apaan sih?
Hmm kakak tau, baru dapet surat dari Rendi ya?,”goda kakakku.
“ihhh, kak Ega kok
gak ngasih tau kalau kakak ketemu Rere, terus pake acara ngasih foto aku yang
jelek lagi,”protesku.
“Hahaha, ngapai juga
kakak kasih tau kamu, gak penting. Terus, siapa suruh tidur ampe ileran
gitu,”ucap kak Egi sambil mencubit gemas pipiku.
“Kak, gimana Rendi
sekarang, cool, cakep, tinggi, atau gimana?,”tanyaku penasaran.
“Biasa aja, gak
tinggi-tinggi amat, kulitnya ngitem, badannya kurus krempeng, rambutnya kribo,
anaknya jorok, slebor gitu,”ucap kakakku cuek.
“Ih, kak Ega bohong
banget sih. Kecilnya gak gitu kok. Masa gedenya berubah drastis gitu. Emmm, tapi
gak apa deh, mau dia kayak gimanapun dia kan sahabat terbaik aku,”ucapku
bijaksana.
“Udah gih sana,
tidur, ntar besok kesiangan lagi.,”usir kakakku.
“Kak, kak Ega tu
cakep ya, baik lagi, tapi bakalan lebih cakep lagi kalo kakak kasih nomor hp
Rendi,”bujukku.
“Nggak punya,”ujar
kakakku sambil melahap kue di atas meja.
“Ih, masa gak punya
sih, kakak bohong ni,”protesku.
“Beneran, ngapain
juga kakak nyimpen nomor tu anak,”ucap kakakku.
“Ya, kan kakak uda ketemu Rendi, masa gak tukeran
nomor telephone sih,”ujarku tak percaya.
“Nih, kalo gak percaya liat aja di hp kakak,”belanya. Dengan
segera kuambil handphone itu dan langsung segera ku buka kontak di handphone
kak Ega, aku lihat satu persatu, dari a hingga z. Setelah mataku terasa sakit
dan lelah karena melihat berulang-ulang kontak itu, akhirnya aku menyerah.
Tanpa bicara lagi, kutinggalkan kak Ega yang sedang asik memakan brownies
buatan mama.
Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Sejenak aku
termenung. Lalu kuambil sebuah novel yang baru setengah aku baca di sebuah rak
tempat aku menaruh semua koleksi novelku dari SD hingga sekarang. Hasil
tabunganku, dibelikan mama, hingga dari hadiah pemberian orang-orang ketika aku
ulang tahun. Lembar-demi lembar terlewati. Rasa kantuk pun semakin menjalar di
mataku. Tanpa tersadar, aku pun terlelap tidur. Namun baru sebentar mataku
terpejam, aku diharuskan membuka mata ketika handphoneku mulai bernyanyi
menandakan ada telepon masuk.
Setelah
kutekan tombol terima, terdengar suara seorang anak laki-laki yang ramah
menyapaku. Suara itu tidak asing di telingaku. Ya, itu seperti suara Ical ketua
kelasku.
“Eh,
cal, tumben telpon ni, ada apa?”sapaku tenang tanpa berpikir panjang siapa
sebenarnya penelpon ini.
“Juju,”ucapnya.
Hmmm...tunggu. Juju? aku ingat sapaan itu.
“Re..re
Rere, ini beneran Rere kan?” ucapku terbatah-batah sangking terkejutnya.
“Juju-Rere selalu bersama. Susah senang
selalu berdua. Dimana ada gula, disitu ada semut. Dimana ada Juju, disitu ada
Rere yang imut,”nyanyinya. Suasana hening seketika saat ia selesai menyanyikan
lagu itu hingga...
“Oh my God, Rereeeee. Arrrggghh,
Rere, aku kangen kamu!”teriakku histeris.
“Aku juga kangeeeeen banget sama kamu Ju,”balasnya. Tiba-tiba air mataku
menetes dan membasahi pipiku.
“Re, aku tu khawatir sama kamu.
Kamu kenapa gak ngasih kabar ke aku tentang kondisi kamu. Kan kamu sendiri yang
bilang kalo susah senang kita selalu berdua. Tapi mana? Mana Re? Kamu jahat.
Kamu gak jujur sama aku...heeee,”rengekku padanya.
“Ju, aku tau kamu pasti marah
sama aku. Tapi aku bener-bener gak mau kamu liat kondisi aku,”ucapnya.
“kalo kamu emang anggep aku
sahabatmu, seharusnya kamu jujur sama aku. Aku sedih Re, aku takut kehilangan
kamu,”ucapku.
“Ju, aku tau aku salah, aku minta maaf. Aku gak bakal
ninggalin kamu lagi. Tapi, untuk saat ini, aku belum bisa ketemu kamu. Aku
seneng banget bisa denger suara kamu lagi. Tapi, suara kamu jelek banget sih
kalo lagi nangis, hahhaha,”ujarnya.
“Ih, apaan sih Re. Gak lucu
tau!”ucapku.
“ya udah gih tidur, besok
sekolahkan? Bye my childhood princess,”ucapnya.
“hmmmm, ya udah deh. Besok aku
telpon kamu ya. Bye, good night my childhood prince,”balasku.
Tiga
Alarm alami yaitu kokokan ayam
ayahku kembali bernyanyi membangunkanku. Berbeda dari biasanya, segeraku ambil
handphone. Ku panggil nomor terakhir yang masuk di received calls hpku.
“Pagi Rere,”sapaku ceria.
“Pagi Ju,”ucapnya berat.
“Bangun,bangun, bangun. Buruan mandi
gih sana? emm udah dulu ya, aku Cuma mau bangunin kamu plus denger suara kamu.
Bye,”ucapku.
“Bye Juju, belajar yang rajin
ya,”balasnya.
Seperti
biasa, rutinitas pagiku kuselesaikan tak kurang dari satu jam. Tapi kali ini
aku pergi sekolah diantar kak Ega dengan mobil karena hujan. Tak mungkin aku
bawa motor, bisa-bisa aku basah kuyup.
Bel
sekolahku berteriak-teriak menandakan pelajaran dimulai. Baru saja kuletakkan
buku di atas meja, kepala sekolahku masuk ke kelas dan diikuti seorang anak
laki-laki. Tinggi, putih, hidung mancung, dan berwajah indo, membuat seisi
kelas terutama para wanita terpukau. Kecuali aku tentunya. Produk seperti ini
sudah sering aku temui di kompleksku. Komplek perumahan elit yang diisi
anak-anak orang berada dan kebanyakan merupakan hasil perkawinan campuran, indo
gitu maksudnya.
“Hai
semua, perkenalkan, namaku Rendi Saputra. Kalian bisa manggil aku Putra,”ucapnya.
“Hai Putra,” sapa seisi kelasku
hampir serempak.
“Aku pindahan dari SMA 1
Kalimantan. Semoga kalian bisa terima aku di sini dan aku mohon bantuannya
untuk beradaptasi di sini. Ada pertanyaan?, ucapnya lancar.
“Rendi Saputra? Kalimantan? ahhh
gak mungkin ni anak Rereku. Ciri-cirinya gak mirip kayak yang di bilang kak
Ega. Lagian setau aku Rere tu pendek. Mungkin kebetulan aja kali. Lagian kalo dia
bener Rereku pasti dia udah ngenalin aku,”ucapku menenangkan.
Teman-temanku kemudian mengajukan
beberapa pertanyaan yang kebanyakan membuatku ingin tertawa mendengarnya.
Pertanyaan gak penting, gak bermutu, dan aneh. Sampai akhirnya ia di
persilahkan untuk duduk di bangku kosong sebelahku karena kursi itu sebelumnya
di tempati oleh Aris yang belum lama pindah ke Jogja.
Bel pelajaran olahraga telah
dimulai. Semua tampak sama kecuali Rendi. Dia mungkin belum mendapat seragam
dari sekolah. Kali ini, materi penjas adalah basket. Salah satu olahraga
favoritku. Tak sepertiku, kebanyakan anak perempuan mengeluh dengan materi ini.
Entah mengapa, padahal ini adalah salah satu olahraga yang cukup elit di
sekolah. Mungkin benar dugaanku kalau mereka tak benar-benar menyukai basket
dan satu-satunya hal yang membuat mereka tertarik hanyalah pemainnya. Hehehe,
tapi ini hanya dugaanku saja, mungkin iya, mungkin juga tidak.
“Kali ini, materi kita adalah
basket yaitu shooting, dribling, dan lay up. Perlu bapak beri tahu dulu, materi
ini dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan dan setelah itu kita adakan pengambilan
nilai. Penilaian dilakukan dengan
melihat teknik, point, dan semangatnya. Sudah jelas?, ucap guruku menjelaskan.
“Siap, jelas,”ucap kami keras.
Setelah itu, guruku memberi contoh dan kami menyaksikan. Kemudian beliau kembali memberikan intruksi.
“Kalau begitu, buat 2 barisan
memanjang. Untuk absen 1-14 berbaris memanjang di tengah lapangan sebelah
kanan, dan sisanya sebaliknya. Kita akan latihan shooting,”ujarnya.
..................................
Kali ini giliranku lagi. Di area
2 point, kucoba memfokuskan diri dan yap masuk. Kali ini aku patut berbangga
diri dengan kemampuanku karena dari 4 kali percobaan, hanya satu kali yang
gagal, itupun karena saat akan melempar
bola, pak Joni memanggil. Hehehe, sekali-kali tak apa berbangga diri.
Waktu olahraga masih 40 menit
lagi ketika pruit panjang pak Joni terdengar memekakkan telinga, tanda berkumpul
untuk murid-muridnya. Atlet kempo yang telah banyak mengalungkan mendali di
lehernya adalah guru termuda di sekolahku. Walau masih honor, beliau sangat
semangat mengajar kami, dan beliau merupakan salah satu guru yang paling akrab
dengan muridnya. Faktor umur yang tak terlalu jauh dengan kami ditambah
pelajaran yang ia ajar memang merupakan alasan tepat untuk keakraban ini.
Kembali ke masalah basket, pak Joni menyuruh semua anak-anak duduk dan ia
kembali memberi arahan. Ia memberi intruksi bahwa anak laki-laki akan dibagi menjadi 2 kelompok. Maklum, anak
laki-laki di kelasku hanya 10 dan 10 orang itu pas dibagi jadi 2 kelompok, 5-5.
Sedangkan anak perempuan juga di bagi menjadi 2 kelompok yaitu 9-9. Tapi, akan
ada pergantian pemain sehingga semua akan kebagian untuk ikut bermain. Anak
laki-laki diberi waktu untuk bermain 15 menit, 15 menitnya lagi di pakai untuk
anak perempuan, sedangkan sisa 10 menit di pakai untuk mengganti pakaian dan
bersiap kepelajaran selanjutnya.
“Pritttt”,bunyi pluit pak Joni
kembali terdengar. Memang tak di pungkiri, mataku memperhatikan gerak-gerik Putra.
Aku penasaran dengan cara permainannya karena 2 faktor yaitu aku belum pernah
melihatnya bermain dan kedua karena ia tadi sempurna memasukkan 4 bola ke ring.
Pergerakannya lincah walau badannya tinggi, tembakannya juga terarah, dan driblenya
mirip anak street ball, cepat dan terkendali dengan berbagai kecohan yang
banyak dibuat. Satu kata buatnya, KEREN!!! “Priiiitt”,permainan diselesaikan
dengan skor 10-3 dan 8 poin disumbangkan oleh Putra.
Kali ini giliranku menunjukkan
aksi terbaik. Namun baru beberapa menit permainan dimulai, permainan ini harus
dihentikan karena tanpa sengaja bola head-passku membentur kepala Putra yang
sedang asyik mengobrol sambil berjalan mondar-madir di atas bangku panjang di pinggir
lapangan. Mungkin karena ia kehilangan keseimbangan, ia terjatuh ke samping
bangku tersebut. Kali ini, peristiwa yang menimpaku tak seperti di sinetron dan
novel-novel kebanyakan yang seharusnya kena bola basket itu cewek, kemudian
cewek itu pingsan, ditolong, digendong ke rukes. Ohohoh, sepertinya aku sudah
jadi korban sinetron. Tapi, aku harus bagaimana sekarang? Ngegendong ni anak?
Gak mungkin! Kan berat!. Arrrrggggg!Kalo dia kenapa-kenapa gimana? Mamanya
dateng kesekolah, marah-marah ke aku, aku dikeluarin dari sekolah, masuk koran
“Seorang siswi SMA LUMINOUS dikeluarkan karena telah menganiyaya temannya”
tidaaaaakkkk,”mimpiku yang ternyata langsung pingsan di lapangan basket tadi.
“Aduh, Jul, kok malah kamu sih
yang pingsan. Kan yang kena bola si Putra,”omel Ika.
“Ngeh, nggak tau Ka, emang aku
tadi pingsan ya? Gimana keadaan Putra?,”tanyaku cemas.
“Putra gak apa-apa kok, dia cuma
kaget waktu liat ada bola ngampirinya, terus dia ilang keseimbangan, jatuh
deh,”ucap Ika menjelaskan.
“Iya Jul, seharusnya kamu yang
nolong dia, bukan dia yang nolong kamu. Juli-Juli,”protes Dita sambil
menjitakku pelan.
“Nolong? Maksud kamu gimana sih?
Nolong gimana?,”tanyaku penasaran.
“Iya,waktu kamu pingsan, semua
mata yang semula memperhatikan Putra berbalik memperhatikan kamu. Dia tu
langsung lari waktu liat kamu pingsan. Kayaknya dia khawatir banget sama kamu.
Terus dia juga yang bawa kamu kesini. Tapi, waktu kita masuk ke sini mau liat
kamu dia malah pergi tanpa ngomong apa-apa, aneh kan?,”jelas Dita panjang
lebar.
Kami kembali kekelas tepat saat
bel pelajaran Matematika dimulai. Aku hanya bisa menatap Putra dari sebelahnya
yang sedang asyik memperhatikan pak Irwan. Sampai akhirnya perhatianku ke Putra
harus terhenti karena seperti ada yang memanggil namaku. “Syarisya Juliana
Kartini”, ya itulah yang aku dengar dan disusul cubitan yang dilayangkan Ika
padaku.
“Syarisya Juliana Kartini! Saya
lihat kamu dari tadi tidak memperhatikan saya menerangkan. Kamu malah
memperhatikan teman kamu. Sepertinya wajah teman kamu itu lebih menarik untuk
dilihat dibandingkan pelajaran saya. Iya?,”tanya pak Irwan bernada sedikit
tinggi yang diikuti tawa anak kelasku. “Sekarang kamu kerjakan soal nomor 2
sampai 5 di papan tulis,”perintahnya. Rasa maluku menjalar di tubuh ini.
Sampai-sampai badanku serasa sangat berat ketika berdiri. 1,2,3,4,5 dan 6
langkah telah kutempuh ketika aku langsung berhadapan dengan papan tulis yang
penuh dengan angka-angka. Kuperhatikan soal-soal itu dengan seksama. Tanganku
pun mulai menari-nari dengan sendirinya di permukaan papan tulis. Kali ini aku
baru benar-benar merasakan betapa pintarnya aku,“Terimakasih Tuhan”. Akupun
mulai berjalan kembali ke tempat duduk setelah pak Irwan mempersilahkan aku
duduk.
Bel pulang sekolahpun berdering.
Sorak-sorai pun kembali terdengar. Sepertinya aku benar-benar harus menunda
rencanaku untuk mengucapkan terimakasih sekaligus permintaan maaf pada Putra. Ya, saat di kelas, istirahat,
hingga pulang sekolah pun ia masih dikerubungi oleh para fansnya yang tak
memberiku ruang walau hanya untuk mengucapkan terimakasih dan maaf. Sedikit
lebay, tapi itulah kenyataannya. Aku pun menunggu jemputan di gerbang sekolah.
5, 10, 15 menit, hingga 1 jam telah berlalu. Kesabaranku sudah mulai terusik
karena terlalu lama menunggu. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku mulai berpikir
untuk pulang sendiri, tapi bagaimana kalau kak Egi datang ketika aku sudah
pergi. Aku tak bisa menghubunginya karena aku lupa membawa hp. Teringat olehku
kalau di sebelah sekolahku ada wartel. Saat aku mulai berdiri, sebuah motor
tepat berhenti di depanku.
“Hai Jul, belum di jemput ya?,”tanyanya
ramah.
“emm, iya nih, dari tadi aku
tungguin belum dateng juga,”ucapku.
“Mungkin lupa kali. Bareng aku
aja gmana? Tadi pagi aku liat kamu, kayaknya rumah kita searah deh”usulnya.
“Nggak usah deh Put, ntar lagi juga pasti dateng,”jawabku.
“Nih, coba kamu telpon. Kamu gak
bawa hp kan?,”ujarnya sambil menjulurkan hp kepadaku. Dengan sedikit
terperangah, ku tekan nomor kak Egi di layar touch screen itu. Tut..tut..tut,
nada itu terhenti ketika terdengar suara kak Egi yang langsung mengenali
suaraku. Benar dugaanku, ia lupa kalau dia harus menjemputku. Dengan nada
sedikit kesal, kututup telpon itu.
“Gimana? Kayaknya bentar lagi mau
ujan deh. Udah bareng aku aja,” kembali ia menawarkan niat baiknya. Hari memang
sudah gelap menandakan hujan akan segera
turun. Karena faktor sikond, akhirnya aku ikut. Sepanjang jalan tak ada kata
yang terucap sampai akhirnya, kami berhenti di SPBU. Tentu saja aku tak menyia-nyiakan kesempatan
ini. Saat menunggu, aku mulai bicara. Aku berterimakasih sekaligus minta maaf
atas semua kejadian hari ini dan sedikit guyonan mencairkan suasana saat itu.
Putra yang kulihat di sekolah sangat berbeda dengan yang kulihat sekarang.Putra
yang cuek, Putra yang sombong, Putra yang
jaim, dan Putra yang terkesan dingin sama sekali tak terlihat. Bahkan aku
serasa menemukan sosok Rere di diri Putra.
Sesampainya di kamar, aku segera
meraih hp-ku. Tak ada sms ataupun telpon yang masuk. Segeraku cari sebuah nama
di kontak hp-ku.
“Re, kamu lagi apa? Kok gak telpon atau sms?,” tanyaku
setelah tersambung dengan Rendi.
“Haha, aku takut ganggu kamu. Aku Lagi ngerjain tugas ni Ju.
Rencananya aku mau telpon kamu abis kerjain tugas ini,”ucapnya.
“Oh lagi ngerjain tugas ya, ganggu dong. Ya udah nanti aja
kalo kamu udah selesai kerjainnya kamu telpon aku,”ucapku dengan sedikit nada
sedih.
“Emmm, sory ya Ju. Ntar lagi selesai kok. Kamu nggak marah
kan? Ntar aku telpon kalo udah selesai ya,”ujarnya.
“Nngnggak kok, nggak apa-apa. Kamu kerjain aja dulu biar
kita lebih bebas ngobrolnya. Banyak yang mau aku ceritain. Jangan lupa telpon
balik ya. Bye,”ucapku sambil menutup telpon dan langsung.
................................................................................
Satu
jam telah berlalu. Satu jam lebih satu menit, satu jam lebih 2 menit, ........,
satu jam lebih 23 menit dan akhirnya hpku berbunyi. Yap, telepon yang aku
tunggu. Segera kuangkat dan seperti buku diary aku mencurahkan semua isi di
kepalaku padanya. Setelah puas dan mengucapkan selamat malam aku pun segera
terlelap yang didahului dengan do`a tidur.
EMPAT
Saat
aku terbangun, kokokan ayam sudah tak terdengar lagi. Ada dua kemungkinan,
pertama aku bangun terlalu pagi atau akunya yang kesiangan. “Tuhan, kuharap ini
piihan pertama”, harapku dalam hati sambil melirik jam mickey mouseku. Aku
segera terlonjak dari tempat tidur karena ternyata jam telah menunjukkan pukul
06.30. “tidaaaaaaaaaakkkkkk”, teriakku. Segera kekamar mandi untuk gosok gigi,
berganti pakaian, memasukkan beberapa buku, memakai sepasang kaus kaki dan
sepatu, serta tak lupa menyemprotkan farfum yang cukup banyak karena ya untuk
menghindari ketidak nyamanan orang di sekitarku saja. Ku lirik jam dan bagus
karena jam masih menunjukkan pukul 06.40 yang artinya masih ada waktu kurang
lebih 20 menit untuk ke sekolah.
“Ma,
Juli perrgi dulu ya”, ucapku sambil bergegas ke garasi.
“Enggak sarapan dulu, bekalnya belum mama masukin ni”, ucapnya sambil
meghampiriku.
“Oh, enggak usah Ma, Juli sarapan di sekolah aja ntar beli di kantin, udah telat nih Ma,” jawabku sembari menangkap tangan mama dan langsunng menciumnya.
“Hati-hati ya Jul, jangan lupa sarapan,” ujar mamaku mengingatkan yang diikuti oleh bunyi klakson motorku.
Tepat saat motor bebekku masuk pintu gerbang ditutup oleh Ajo, satpam sekolahku. Di sebelahku ternyata ada Putra yang sepertinya bersamaan tadi masuknya. Sekarang kekhawatiranku akan terlambat telah sirna tapi tiba-tiba aku teringat akan motor bebekku yang tanpa sadar ku parkirkan di dalam sekolah, bukan di luar. Ya ampun, mau keluar lagi mana mungkin tapi bagaimana nasib motorku nanti. Oke, keep calm. Berdoa dan berharap semua akan baik-baik saja. Lalu ku pandangi sekelilingku tak ada orang dan itu artinya aku bisa lega. Tapi tunggu dulu, tak ada seorang pun. Itu artinya aku ditinggalin sama Putra. Oh No!! Emm, bukannya aku berharap bisa berdua ke kelas dengannya tapi aku berharap masuk ke kelas bersamannya, jadi kalau aku dihukum setidaknya ada teman gitu. Huft. Segerak berlari menuju ke kelas dan masuk. Untung saja Pak Doni memberiku pengampunan dan membolehkanku duduk karena memang sebelumnya aku tak pernah terlambat. Tentunya dengan sedikit nasihat dan perjanjian untuk tidak terlambat lagi.
“Oh, enggak usah Ma, Juli sarapan di sekolah aja ntar beli di kantin, udah telat nih Ma,” jawabku sembari menangkap tangan mama dan langsunng menciumnya.
“Hati-hati ya Jul, jangan lupa sarapan,” ujar mamaku mengingatkan yang diikuti oleh bunyi klakson motorku.
Tepat saat motor bebekku masuk pintu gerbang ditutup oleh Ajo, satpam sekolahku. Di sebelahku ternyata ada Putra yang sepertinya bersamaan tadi masuknya. Sekarang kekhawatiranku akan terlambat telah sirna tapi tiba-tiba aku teringat akan motor bebekku yang tanpa sadar ku parkirkan di dalam sekolah, bukan di luar. Ya ampun, mau keluar lagi mana mungkin tapi bagaimana nasib motorku nanti. Oke, keep calm. Berdoa dan berharap semua akan baik-baik saja. Lalu ku pandangi sekelilingku tak ada orang dan itu artinya aku bisa lega. Tapi tunggu dulu, tak ada seorang pun. Itu artinya aku ditinggalin sama Putra. Oh No!! Emm, bukannya aku berharap bisa berdua ke kelas dengannya tapi aku berharap masuk ke kelas bersamannya, jadi kalau aku dihukum setidaknya ada teman gitu. Huft. Segerak berlari menuju ke kelas dan masuk. Untung saja Pak Doni memberiku pengampunan dan membolehkanku duduk karena memang sebelumnya aku tak pernah terlambat. Tentunya dengan sedikit nasihat dan perjanjian untuk tidak terlambat lagi.
“Eh, kamu belom mandi ya?”, ucap Putra sambil menutup hidung. Kata-kata
ini spontan membuat bulu kudukku berdiri. “Dari mana ni anak bisa tau, kemarin
juga dia tau kalau aku gak bawak hp. Peramal kali ni anak”, ucapku dalam hati.
“Parfum kamu tu Jul, nyenget banget. Sengaja ya pakek banyak biar gak
bau belum mandinya gak kecium,”ucapnya masih sambil menutup hidung.
“Enggak kok, aku udah mandi tau! Tadi parfumnya tumpah ke baju. Jadi
kebanyakan nempelnya,” belaku sambil berkata dalam hati “apa gak ada alasan
lebih bagus ya. Parfum tumpah? Emang bisa?”. Segera kualihkan perhatian ke
depan agar terhindar dari kecurigaan Putra.
......................................................................................
Pelajaran bahasa Indonesia dan
Agama telah berakhir dengan ditandai bunyi bel. Akhirnya waktu istirahat pun tiba.
“Aku gak bawa bekal hari ini. Makan di kantin aja yuk,” ucapku kepada teman-temanku.
“Aku gak bawa bekal hari ini. Makan di kantin aja yuk,” ucapku kepada teman-temanku.
“Yuk, aku ambil bekalku dulul
ya,” ucap Endah. Keluar dari kelas, belok kiri, lurus terus, lalu belok kanan
dan sampailah kami di kantin. Ada soto bu`de, tekwan mang kom, sate uda, bakso
mang adi, lenggang, dan berbagai jenis makanan ringan dan berat serta minumnya
tersedia di sini.
Oke, aku pilih soto bu`de aja
deh. Setelah memesan, aku kembali ke tempat duduk yang sudah disiapkan oleh
teman-temanku. Setelah tiga menit menunggu, pesannanku datang dan bersamaan
dengan itu pula ku lihat banyak orang riuh berkumpul. Ya, itu Putra. Sepertinya
ia sedang di kejar-kejar para wanita. Kasihan juga sih ngeliatinnya, tapi ya
sudah lah itu namamya resiko dia punya muka.
Bel masuku berbunyi dengan
nyaring. Kami kembali ke kelas dan aku segera duduk di bangkuku. Roti isi aku
keluarkan dari dalam saku jaketku dan segera kuberikan pada Putra.
“Nih, makan dulu. Aku tau dari
tadi kamu belum makankan?,”ucapku tulus.
“Thanks, gimana mau makan, buat
duduk di kantin bentar aja gak bisa. Dasar para cewek ABG,”ucapnya pula.
“Udah, buruan makan ntar keburu
Bu Lidya masuk, lumayan tu buat ganjel perut,” ucapku.
to be continued
to be continued