Translate

Jumat, 01 Februari 2013

baca novel


SATU
Pagi yang cerah menyambutku. Kokokan ayam peliharaan ayah seperti alarm yang membangunkanku dari mimpi indah. Dengan bangkit sambil menguap yang diikuti aroma naga, kulihat jam micky mouse di dinding kamarku. Ya, seperti biasa, jam 05.35. Segera kulaksanakan pekerjaan rutinku. Mandi, makan, menyiapkan perlengkapan sekolah, dan lain-lain, semuanya ku lakukan kurang lebih hanya satu jam.
“Juli, ini bekalnya ketinggalan”, teriak mamaku dari dalam rumah saat aku sedang menghidupkan mesin motorku. Ya, namaku Syarisya Juliana Kartini. Syarisya yang diambil dari nama orang tuaku Syarif-Risya dan Juliana karena aku lahir bulan Juli. Sedangkan Kartini diambil dari nama R.A Kartini yang diberikan oleh nenekku karena beliau sangat mengagumi sosok pahlawan wanita yang satu ini.
“Oh iya, lupa Ma”, ucapku sambil turun dari motor dan kemudian berjalan ke arah mamaku. Setelah itu, segera ku starter lagi motor bebekku, lalu pergi dengan rute yang selalu sama tiap harinya. Sampai-sampai, aku sudah hapal posisi lubang di jalan ini. Ya, ada bebapa titik jalan yang lubangnya cukup dalam sehingga harus pelan-pelan melewatinya. Hehhheehe.
Setelah kuparkirkan motor bebekku, aku mulai berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah. Lurus, kemudian belok kanan, itulah kelasku. Ya, kelas bertandakan papan yang tertulis kelas X-1. Sudah hampir 7 bulan aku di sini, di kelas yang dihuni oleh 30 orang siswa. SMA LUMINOUS adalah nama sekolahku. Sekolah peninggalan Belanda yang masih kokoh berdiri dengan sedikit pemugaran dan penambahan bangunan di sana sini. Sekolah yang lengkap dengan cerita mistis. Mulai dari hantu noni-noni belanda yang sering bernyanyi dengan merdu, hingga hantu para korban kekejaman Belanda yang terlihat berjalan berbaris dengan rantai terikat di kaki mereka. Memang kedengarannya menyeramkan. Tapi, selama aku bersekolah di sini belum ada yang terlihat dan terdengar olehku.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Hari-hari yang  diisi oleh persahabatan dan cinta dari orang-orang terdekatku. Hari-hari yang dipenuhi gelak tawa dan keceriaan. Aku memang beruntung karena memiliki teman dan keluarga yang menyayangi dan memperhatikanku dengan ikhlas. “Terimakasih Tuhan atas semua yang kau berikan padaku,”ucapku dalam hati.
Ada satu pengalaman yang tak bisa kulupakan di sini. Ketika itu pulang sekolah, aku ke toilet sendirian dan saat aku keluar dari salah satu biliknya ternyata aku sudah berada di tempat lain dan sialnya aku tak bisa keluar karena pintunya terkunci. Ya, di toilet yang sudah tak terpakai lagi. Tak terpakai sejak peristiwa pembunuhan yang sampai sekarang masih penuh misteri itu. Peristiwa dua tahun silam saat seorang siswa sekolahku dibunuh tanpa alasan yang jelas. Maksudku tak jelas karena aku tak tahu jalan cerita yang sebenarnya dan aku tak mau mencari tahu semua ini. Yang jelas, tiolet ini sudah di cap angker oleh seantero penghuni sekolah. Aku tahu ini adalah toilet angker itu, karena sebelumnya anak-anak kelasku pernah membuat film dokumenter untuk seru-seruan mengisi hari libur berjudul “Toiletku Tak Terbukti Angker” yang membahas masalah toilet ini dan untuk observasinya, kami menjelajah toilet ini bersama-sama dari sudut ke sudut. Waktu itu memang tidak takut karena ramai, tapi sekarang aku sendiri. Aku berusaha berteriak minta tolong. Tapi, sepertinya tak ada seorang pun yang mendengar. Ku coba menelpon temanku dan berharap mereka bisa menolongku namun tak ada signal di sini. Dengan gemetar, ku coba mengirim sms pada temanku. Lalu kembali ku coba lagi menelpon.  Namun, baru saja terdengar nada sambung, tiba-tiba udara bertiup sangat kencang, dingin, dan terasa mencengkam. Mataku terpejam dengan sendirinya dan aku terkejut saat membuka mata. Aku seperti berada di tempat lain tapi aku mengenal tempat ini. Ya, sekarang aku sadar berada di mana. Di tempat yang sama. Tapi anehnya, tempat ini terlihat bersih dan terawat. Namun, kembali aku dikejutkan dengan suara teriakan dan tak lama kemudian seorang laki-laki berseragam sekolah sama sepertiku keluar dari salah satu bilik kamar kecil dengan muka dan baju penuh bercakan darah. Entah mengapa aku jadi berani. Tanpa rasa takut, kulangkahkan kakiku menuju tempat laki-laki tadi keluar. Kuintip dan terlihat olehku seorang laki-laki yang berseragam sama terduduk di lantainya. Bajunya dan lantai itu pun basah oleh darah. Aku menghampiri tuk berusaha menolong laki-laki itu. Namun ketika aku mendekat, ia membisikkan sesuatu padaku dan menyebutkan sesuatu “Berlian”, ujarnya lirih.
Saat ia selesai menyebutkan kata-kata tersebut, mataku kembali terpejam dengan sendirinya dan saat aku membuka mata, semua kembali seperti semula. Aku pun tertegun sejenak, sampai akhirnya aku tersadar saat seseorang dari belakang memelukku.
“Juli, kamu gak apa-apa kan?”, tanya Endah salah satu temanku yang tampaknya sangat cemas.
“Li, kamu kenapa? Kita tuh khawatir banget loh waktu tau kamu sms tadi”, ucap temanku Ika yang tak kalah cemasnya dengan Endah.
“Iya, untung kamu tadi bilang mau ketoilet ke kita. Kalo enggakkan kita bingung mau cari kamu kemana,” ucap Dita dengan antusias.
“Gak kok, aku gak kenapa-kenapa. Aku tadi cuma iseng aja”, ucapku berusaha menenangkan teman-temanku.
“Ih, kok kamu gitu sih Li, kita tuh khawatir banget, jangan jadiin bahan becanda deh, gak lucu, ntar kalo kamu bener kenapa-kenapa gimana? Ntar kita pikir kamu boong terus kita biarin terus terjadi apa-apa gimana?,”oceh Ika pada ku.
“Sory, sory, aku ngaku salah deh. Tapi, aku jadi terharu soalnya ternyata kalian peduli, u`re my best friends,”ucapku sambil memeluk mereka semua.
Setelah adegan peluk-pelukan kayak teletubbies, kami pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan dihiasi senyuman, aku terus mengingat dan berpikir tentang apa yang telah terjadi tadi. Apa itu hanya halusinasiku saja? atau itu memang nyata?. Entahlah.
“Biarlah ku simpan semua cerita aneh yang menimpaku hari ini. Toh, kalau aku ceritakan juga pasti tak ada yang percaya padaku. Mungkin tadi memang hanya halusinasiku saja. Halusinasi tentang toilet yang angker karena aku terlalu takut saat itu,” ucapku dalam hati sambil menarik napas panjang.






















Dua
Ain't about the cha-ching, cha-ching..Ain't about the ba-bling, ba-bling..Wanna make the world dance..Forget about the price tag..”, nyanyiku sambil mendengar musik dari hadphone.
“Fales tauuu,” ucap kakakku Ega sambil sedikit menjitak kepalaku.
“Ihhh, kak Ega, sakit tau,”ucapku kesal.
“haha”, gelaknya. Belum usai kak Ega tertawa, bel rumahku berbunyi. Seketika itu juga kak Ega terhenti tertawa. Segeraku bergegas menuju pintu.
“Siapa ya, kok namu magrib-magrib sih,”pikirku dalam hati.
Seorang laki-laki telah berdiri dihadapanku. Ia memegang sebuah amplop besar dan dari motor yang ia gunakan aku tahu ia adalah seorang pengantar surat.
“Ini mbak, ada surat buat Syarisya Juliana Pertiwi,”ucap pengantar surat itu ramah.
“Oh iya, itu saya, dari siapa ya Pak?,”tanyaku.
“Wah, kalo itu mbak bisa liat langsung diamplopnya. Tolong tanda tangan disini ya mbak,”ucapnya saat menyodorkan sebuah buku bukti penerimaan surat.
“Makasih ya Pak,”ucapku sambil mengembalikan buku tersebut. Pak pos itu pun tersenyum dan pamit padaku. Aku segera bergegas menuju kamar ketika kakakku sedang fokus menonton acara pertandingan sepak bola persahabatan antara Indonesia dan Filiphina.
Setibanya dikamar, kubuka amplop itu. Didalamnya kutemukan sebuah foto dan sepucuk surat. Foto dua anak kecil yang sedang bermain istana pasir. Senyum tulus dan tanpa beban terselip di antara pipi-pipi tembam menggemaskan kedua anaktersebut. Mataku kemudian beralih ke sepucuk surat yang ditulis menggunakan tinta hijau warna kesukaanku. Ku baca perlahan sambil menghayati kata demi kata.

Dear my  chidhood princess,

Hai, apa kabar?
Masih ingat aku? Masih ingat lagu ini:
 “Juju-Rere selalu bersama. Susah senang selalu berdua. Dimana ada gula, disitu ada semut. Dimana ada Juju, disitu ada Rere yang imut JJ
Hmmmmmmm...
Ju, sory banget, bukan maksud aku mau pergi tanpa ngasih tau kamu. Waktu itu aku kecelakaan dan orangtuaku langsung bawa aku berobat ke Singapura karena luka dalamku cukup parah. Karena aku gak mau buat kamu sedih, aku nyuruh mamaku buat gak kasih tau siapa-siapa terutama kamu. lima bulan aku disana berusaha cepat sembuh biar aku bisa cepet pulang dan ketemu kamu, sampai-sampai dokter takjub liat kondisi aku. Tapi, ketika aku pulang, ternyata kamu udah pindah. Aku cuma tau kamu pindah ke Bandung tapi gak ada yang tau alamat kamu. 2 bulan setelah kamu pindah, aku dan keluarga juga harus pindah ke Kalimantan karena papa pindah tugas. Mungkin ini yang membuat kita bener-bener hilang kontak. Setiap liburan, aku selalu membujuk orang tuaku untuk liburan di Bandung. Itu hanya kedokku, karena sebenarnya aku berharap bisa bertemu sama kamu.  Tapi, Bandung itu memang luas ya J. Waktu DBL di Jakarta kemarin, aku ketemu sama Ega. Aku seneng akhirnya bisa tau keberadaan kalian. Ega mungkin gak cerita, soalnya aku mau ini jadi surpeise buat kamu. Ega juga ngasih liat foto kamu yang lagi tidur di mobil ke aku. Lucu banget, apa lagi ada ilernya J. Buat saat ini aku udah cukup liat foto itu setiap saat dari wallpaper hpku. Aku belum sempat nemuin kamu. Tapi aku bener-bener berharap aku bisa ketemu kamu secepatnya.
Jaga kesehatan kamu, jangan telat makan, terus jangan lupa berdoa biar kita bisa cepat ketemu. Okey. Udah dulu ya, salam buat ega dan mama papa kamu. Oh ya, papa mama aku juga titip salam buat kalian semua. Bye.
Your childhood prince,



                                                                                                                                                          Rere


Teringat kembali masa-masa indah itu. Masa-masa tanpa beban, tanpa pr, tugas, atau masalah-masalah orang dewasa yang membuat orang lebih cepat tua. Ku masukkan lagi amplop dan foto itu ketempatnya dan segeraku berlari ke luar dari kamar.
                “Kak Egaaaaaaa,”teriakku.
                “Juliii, jangan teriak-teriak, gak enak didenger tetangga,”ucap mamaku yang ternyata sudah pulang dan sedang duduk santai di ruang keluarga bersama papa dan kak Ega.
                “Kak Ega, sini deh,”perintahku sambil menarik paksa kak Ega yang sedang asyik menonton ke dapur.
                “Juli, apaan sih? Hmm kakak tau, baru dapet surat dari Rendi ya?,”goda kakakku.
                “ihhh, kak Ega kok gak ngasih tau kalau kakak ketemu Rere, terus pake acara ngasih foto aku yang jelek lagi,”protesku.
                “Hahaha, ngapai juga kakak kasih tau kamu, gak penting. Terus, siapa suruh tidur ampe ileran gitu,”ucap kak Egi sambil mencubit gemas pipiku.
                “Kak, gimana Rendi sekarang, cool, cakep, tinggi, atau gimana?,”tanyaku penasaran.
                “Biasa aja, gak tinggi-tinggi amat, kulitnya ngitem, badannya kurus krempeng, rambutnya kribo, anaknya jorok, slebor gitu,”ucap kakakku cuek.
                “Ih, kak Ega bohong banget sih. Kecilnya gak gitu kok. Masa gedenya berubah drastis gitu. Emmm, tapi gak apa deh, mau dia kayak gimanapun dia kan sahabat terbaik aku,”ucapku bijaksana.
                “Udah gih sana, tidur, ntar besok kesiangan lagi.,”usir kakakku.
                “Kak, kak Ega tu cakep ya, baik lagi, tapi bakalan lebih cakep lagi kalo kakak kasih nomor hp Rendi,”bujukku.
                “Nggak punya,”ujar kakakku sambil melahap kue di atas meja.
                “Ih, masa gak punya sih, kakak bohong ni,”protesku.
                “Beneran, ngapain juga kakak nyimpen nomor tu anak,”ucap kakakku.
“Ya, kan kakak uda ketemu Rendi, masa gak tukeran nomor telephone sih,”ujarku tak percaya.
“Nih, kalo gak percaya liat aja di hp kakak,”belanya. Dengan segera kuambil handphone itu dan langsung segera ku buka kontak di handphone kak Ega, aku lihat satu persatu, dari a hingga z. Setelah mataku terasa sakit dan lelah karena melihat berulang-ulang kontak itu, akhirnya aku menyerah. Tanpa bicara lagi, kutinggalkan kak Ega yang sedang asik memakan brownies buatan mama.
Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Sejenak aku termenung. Lalu kuambil sebuah novel yang baru setengah aku baca di sebuah rak tempat aku menaruh semua koleksi novelku dari SD hingga sekarang. Hasil tabunganku, dibelikan mama, hingga dari hadiah pemberian orang-orang ketika aku ulang tahun. Lembar-demi lembar terlewati. Rasa kantuk pun semakin menjalar di mataku. Tanpa tersadar, aku pun terlelap tidur. Namun baru sebentar mataku terpejam, aku diharuskan membuka mata ketika handphoneku mulai bernyanyi menandakan ada telepon masuk.
                Setelah kutekan tombol terima, terdengar suara seorang anak laki-laki yang ramah menyapaku. Suara itu tidak asing di telingaku. Ya, itu seperti suara Ical ketua kelasku.
                “Eh, cal, tumben telpon ni, ada apa?”sapaku tenang tanpa berpikir panjang siapa sebenarnya penelpon ini.
                “Juju,”ucapnya. Hmmm...tunggu. Juju? aku ingat sapaan itu.
                “Re..re Rere, ini beneran Rere kan?” ucapku terbatah-batah sangking terkejutnya.
                Juju-Rere selalu bersama. Susah senang selalu berdua. Dimana ada gula, disitu ada semut. Dimana ada Juju, disitu ada Rere yang imut,”nyanyinya. Suasana hening seketika saat ia selesai menyanyikan lagu itu hingga...
                “Oh my God, Rereeeee. Arrrggghh, Rere, aku kangen kamu!”teriakku histeris.
                “Aku juga kangeeeeen banget  sama kamu Ju,”balasnya. Tiba-tiba air mataku menetes dan membasahi pipiku.
                “Re, aku tu khawatir sama kamu. Kamu kenapa gak ngasih kabar ke aku tentang kondisi kamu. Kan kamu sendiri yang bilang kalo susah senang kita selalu berdua. Tapi mana? Mana Re? Kamu jahat. Kamu gak jujur sama aku...heeee,”rengekku padanya.
                “Ju, aku tau kamu pasti marah sama aku. Tapi aku bener-bener gak mau kamu liat kondisi aku,”ucapnya.
                “kalo kamu emang anggep aku sahabatmu, seharusnya kamu jujur sama aku. Aku sedih Re, aku takut kehilangan kamu,”ucapku.
                “Ju,  aku tau aku salah, aku minta maaf. Aku gak bakal ninggalin kamu lagi. Tapi, untuk saat ini, aku belum bisa ketemu kamu. Aku seneng banget bisa denger suara kamu lagi. Tapi, suara kamu jelek banget sih kalo lagi nangis, hahhaha,”ujarnya.
                “Ih, apaan sih Re. Gak lucu tau!”ucapku.
                “ya udah gih tidur, besok sekolahkan? Bye my childhood princess,”ucapnya.
                “hmmmm, ya udah deh. Besok aku telpon kamu ya. Bye, good night my childhood prince,”balasku.
















Tiga
Alarm alami yaitu kokokan ayam ayahku kembali bernyanyi membangunkanku. Berbeda dari biasanya, segeraku ambil handphone. Ku panggil nomor terakhir yang masuk di received calls hpku.
“Pagi Rere,”sapaku ceria.
“Pagi Ju,”ucapnya berat.
“Bangun,bangun, bangun. Buruan mandi gih sana? emm udah dulu ya, aku Cuma mau bangunin kamu plus denger suara kamu. Bye,”ucapku.
“Bye Juju, belajar yang rajin ya,”balasnya.
                Seperti biasa, rutinitas pagiku kuselesaikan tak kurang dari satu jam. Tapi kali ini aku pergi sekolah diantar kak Ega dengan mobil karena hujan. Tak mungkin aku bawa motor, bisa-bisa aku basah kuyup.
                Bel sekolahku berteriak-teriak menandakan pelajaran dimulai. Baru saja kuletakkan buku di atas meja, kepala sekolahku masuk ke kelas dan diikuti seorang anak laki-laki. Tinggi, putih, hidung mancung, dan berwajah indo, membuat seisi kelas terutama para wanita terpukau. Kecuali aku tentunya. Produk seperti ini sudah sering aku temui di kompleksku. Komplek perumahan elit yang diisi anak-anak orang berada dan kebanyakan merupakan hasil perkawinan campuran, indo gitu maksudnya.
                “Hai semua, perkenalkan, namaku Rendi Saputra. Kalian bisa manggil aku Putra,”ucapnya.
“Hai Putra,” sapa seisi kelasku hampir serempak.
“Aku pindahan dari SMA 1 Kalimantan. Semoga kalian bisa terima aku di sini dan aku mohon bantuannya untuk beradaptasi di sini. Ada pertanyaan?, ucapnya lancar.
“Rendi Saputra? Kalimantan? ahhh gak mungkin ni anak Rereku. Ciri-cirinya gak mirip kayak yang di bilang kak Ega. Lagian setau aku Rere tu pendek. Mungkin kebetulan aja kali. Lagian kalo dia bener Rereku pasti dia udah ngenalin aku,”ucapku menenangkan.
Teman-temanku kemudian mengajukan beberapa pertanyaan yang kebanyakan membuatku ingin tertawa mendengarnya. Pertanyaan gak penting, gak bermutu, dan aneh. Sampai akhirnya ia di persilahkan untuk duduk di bangku kosong sebelahku karena kursi itu sebelumnya di tempati oleh Aris yang belum lama pindah ke Jogja.
Bel pelajaran olahraga telah dimulai. Semua tampak sama kecuali Rendi. Dia mungkin belum mendapat seragam dari sekolah. Kali ini, materi penjas adalah basket. Salah satu olahraga favoritku. Tak sepertiku, kebanyakan anak perempuan mengeluh dengan materi ini. Entah mengapa, padahal ini adalah salah satu olahraga yang cukup elit di sekolah. Mungkin benar dugaanku kalau mereka tak benar-benar menyukai basket dan satu-satunya hal yang membuat mereka tertarik hanyalah pemainnya. Hehehe, tapi ini hanya dugaanku saja, mungkin iya, mungkin juga tidak.
“Kali ini, materi kita adalah basket yaitu shooting, dribling, dan lay up. Perlu bapak beri tahu dulu, materi ini dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan dan setelah itu kita adakan pengambilan nilai. Penilaian dilakukan  dengan melihat teknik, point, dan semangatnya. Sudah jelas?, ucap guruku menjelaskan.
“Siap, jelas,”ucap kami keras. Setelah itu, guruku memberi contoh dan kami menyaksikan. Kemudian  beliau kembali memberikan intruksi.
“Kalau begitu, buat 2 barisan memanjang. Untuk absen 1-14 berbaris memanjang di tengah lapangan sebelah kanan, dan sisanya sebaliknya. Kita akan latihan shooting,”ujarnya.
..................................
Kali ini giliranku lagi. Di area 2 point, kucoba memfokuskan diri dan yap masuk. Kali ini aku patut berbangga diri dengan kemampuanku karena dari 4 kali percobaan, hanya satu kali yang gagal, itupun karena saat akan  melempar bola, pak Joni memanggil. Hehehe, sekali-kali tak apa berbangga diri.
Waktu olahraga masih 40 menit lagi ketika pruit panjang pak Joni terdengar memekakkan telinga, tanda berkumpul untuk murid-muridnya. Atlet kempo yang telah banyak mengalungkan mendali di lehernya adalah guru termuda di sekolahku. Walau masih honor, beliau sangat semangat mengajar kami, dan beliau merupakan salah satu guru yang paling akrab dengan muridnya. Faktor umur yang tak terlalu jauh dengan kami ditambah pelajaran yang ia ajar memang merupakan alasan tepat untuk keakraban ini. Kembali ke masalah basket, pak Joni menyuruh semua anak-anak duduk dan ia kembali memberi arahan. Ia memberi intruksi bahwa anak laki-laki akan  dibagi menjadi 2 kelompok. Maklum, anak laki-laki di kelasku hanya 10 dan 10 orang itu pas dibagi jadi 2 kelompok, 5-5. Sedangkan anak perempuan juga di bagi menjadi 2 kelompok yaitu 9-9. Tapi, akan ada pergantian pemain sehingga semua akan kebagian untuk ikut bermain. Anak laki-laki diberi waktu untuk bermain 15 menit, 15 menitnya lagi di pakai untuk anak perempuan, sedangkan sisa 10 menit di pakai untuk mengganti pakaian dan bersiap kepelajaran selanjutnya.
“Pritttt”,bunyi pluit pak Joni kembali terdengar. Memang tak di pungkiri, mataku memperhatikan gerak-gerik Putra. Aku penasaran dengan cara permainannya karena 2 faktor yaitu aku belum pernah melihatnya bermain dan kedua karena ia tadi sempurna memasukkan 4 bola ke ring. Pergerakannya lincah walau badannya tinggi, tembakannya juga terarah, dan driblenya mirip anak street ball, cepat dan terkendali dengan berbagai kecohan yang banyak dibuat. Satu kata buatnya, KEREN!!! “Priiiitt”,permainan diselesaikan dengan skor 10-3 dan 8 poin disumbangkan oleh Putra.
Kali ini giliranku menunjukkan aksi terbaik. Namun baru beberapa menit permainan dimulai, permainan ini harus dihentikan karena tanpa sengaja bola head-passku membentur kepala Putra yang sedang asyik mengobrol sambil berjalan mondar-madir di atas bangku panjang di pinggir lapangan. Mungkin karena ia kehilangan keseimbangan, ia terjatuh ke samping bangku tersebut. Kali ini, peristiwa yang menimpaku tak seperti di sinetron dan novel-novel kebanyakan yang seharusnya kena bola basket itu cewek, kemudian cewek itu pingsan, ditolong, digendong ke rukes. Ohohoh, sepertinya aku sudah jadi korban sinetron. Tapi, aku harus bagaimana sekarang? Ngegendong ni anak? Gak mungkin! Kan berat!. Arrrrggggg!Kalo dia kenapa-kenapa gimana? Mamanya dateng kesekolah, marah-marah ke aku, aku dikeluarin dari sekolah, masuk koran “Seorang siswi SMA LUMINOUS dikeluarkan karena telah menganiyaya temannya” tidaaaaakkkk,”mimpiku yang ternyata langsung pingsan di lapangan basket tadi.
“Aduh, Jul, kok malah kamu sih yang pingsan. Kan yang kena bola si Putra,”omel Ika.
“Ngeh, nggak tau Ka, emang aku tadi pingsan ya? Gimana keadaan Putra?,”tanyaku cemas.
“Putra gak apa-apa kok, dia cuma kaget waktu liat ada bola ngampirinya, terus dia ilang keseimbangan, jatuh deh,”ucap Ika menjelaskan.
“Iya Jul, seharusnya kamu yang nolong dia, bukan dia yang nolong kamu. Juli-Juli,”protes Dita sambil menjitakku pelan.
“Nolong? Maksud kamu gimana sih? Nolong gimana?,”tanyaku penasaran.
“Iya,waktu kamu pingsan, semua mata yang semula memperhatikan Putra berbalik memperhatikan kamu. Dia tu langsung lari waktu liat kamu pingsan. Kayaknya dia khawatir banget sama kamu. Terus dia juga yang bawa kamu kesini. Tapi, waktu kita masuk ke sini mau liat kamu dia malah pergi tanpa ngomong apa-apa, aneh kan?,”jelas Dita panjang lebar.
Kami kembali kekelas tepat saat bel pelajaran Matematika dimulai. Aku hanya bisa menatap Putra dari sebelahnya yang sedang asyik memperhatikan pak Irwan. Sampai akhirnya perhatianku ke Putra harus terhenti karena seperti ada yang memanggil namaku. “Syarisya Juliana Kartini”, ya itulah yang aku dengar dan disusul cubitan yang dilayangkan Ika padaku.
“Syarisya Juliana Kartini! Saya lihat kamu dari tadi tidak memperhatikan saya menerangkan. Kamu malah memperhatikan teman kamu. Sepertinya wajah teman kamu itu lebih menarik untuk dilihat dibandingkan pelajaran saya. Iya?,”tanya pak Irwan bernada sedikit tinggi yang diikuti tawa anak kelasku. “Sekarang kamu kerjakan soal nomor 2 sampai 5 di papan tulis,”perintahnya. Rasa maluku menjalar di tubuh ini. Sampai-sampai badanku serasa sangat berat ketika berdiri. 1,2,3,4,5 dan 6 langkah telah kutempuh ketika aku langsung berhadapan dengan papan tulis yang penuh dengan angka-angka. Kuperhatikan soal-soal itu dengan seksama. Tanganku pun mulai menari-nari dengan sendirinya di permukaan papan tulis. Kali ini aku baru benar-benar merasakan betapa pintarnya aku,“Terimakasih Tuhan”. Akupun mulai berjalan kembali ke tempat duduk setelah pak Irwan mempersilahkan aku duduk.
Bel pulang sekolahpun berdering. Sorak-sorai pun kembali terdengar. Sepertinya aku benar-benar harus menunda rencanaku untuk mengucapkan terimakasih sekaligus permintaan maaf  pada Putra. Ya, saat di kelas, istirahat, hingga pulang sekolah pun ia masih dikerubungi oleh para fansnya yang tak memberiku ruang walau hanya untuk mengucapkan terimakasih dan maaf. Sedikit lebay, tapi itulah kenyataannya. Aku pun menunggu jemputan di gerbang sekolah. 5, 10, 15 menit, hingga 1 jam telah berlalu. Kesabaranku sudah mulai terusik karena terlalu lama menunggu. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku mulai berpikir untuk pulang sendiri, tapi bagaimana kalau kak Egi datang ketika aku sudah pergi. Aku tak bisa menghubunginya karena aku lupa membawa hp. Teringat olehku kalau di sebelah sekolahku ada wartel. Saat aku mulai berdiri, sebuah motor tepat berhenti di depanku.
“Hai Jul, belum di jemput ya?,”tanyanya ramah.
“emm, iya nih, dari tadi aku tungguin belum dateng juga,”ucapku.
“Mungkin lupa kali. Bareng aku aja gmana? Tadi pagi aku liat kamu, kayaknya rumah kita searah deh”usulnya.

“Nggak usah deh Put, ntar lagi juga pasti dateng,”jawabku.
“Nih, coba kamu telpon. Kamu gak bawa hp kan?,”ujarnya sambil menjulurkan hp kepadaku. Dengan sedikit terperangah, ku tekan nomor kak Egi di layar touch screen itu. Tut..tut..tut, nada itu terhenti ketika terdengar suara kak Egi yang langsung mengenali suaraku. Benar dugaanku, ia lupa kalau dia harus menjemputku. Dengan nada sedikit kesal, kututup telpon itu.
“Gimana? Kayaknya bentar lagi mau ujan deh. Udah bareng aku aja,” kembali ia menawarkan niat baiknya. Hari memang  sudah gelap menandakan hujan akan segera turun. Karena faktor sikond, akhirnya aku ikut. Sepanjang jalan tak ada kata yang terucap sampai akhirnya, kami berhenti di SPBU.  Tentu saja aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Saat menunggu, aku mulai bicara. Aku berterimakasih sekaligus minta maaf atas semua kejadian hari ini dan sedikit guyonan mencairkan suasana saat itu. Putra yang kulihat di sekolah sangat berbeda dengan yang kulihat sekarang.Putra yang cuek, Putra yang sombong, Putra  yang jaim, dan Putra yang terkesan dingin sama sekali tak terlihat. Bahkan aku serasa menemukan sosok Rere di diri Putra.
Sesampainya di kamar, aku segera meraih hp-ku. Tak ada sms ataupun telpon yang masuk. Segeraku cari sebuah nama di kontak hp-ku.
“Re, kamu lagi apa? Kok gak telpon atau sms?,” tanyaku setelah tersambung dengan Rendi.
“Haha, aku takut ganggu kamu. Aku Lagi ngerjain tugas ni Ju. Rencananya aku mau telpon kamu abis kerjain tugas ini,”ucapnya.
“Oh lagi ngerjain tugas ya, ganggu dong. Ya udah nanti aja kalo kamu udah selesai kerjainnya kamu telpon aku,”ucapku dengan sedikit nada sedih.
“Emmm, sory ya Ju. Ntar lagi selesai kok. Kamu nggak marah kan? Ntar aku telpon kalo udah selesai ya,”ujarnya.
“Nngnggak kok, nggak apa-apa. Kamu kerjain aja dulu biar kita lebih bebas ngobrolnya. Banyak yang mau aku ceritain. Jangan lupa telpon balik ya. Bye,”ucapku sambil menutup telpon dan langsung.
................................................................................
                Satu jam telah berlalu. Satu jam lebih satu menit, satu jam lebih 2 menit, ........, satu jam lebih 23 menit dan akhirnya hpku berbunyi. Yap, telepon yang aku tunggu. Segera kuangkat dan seperti buku diary aku mencurahkan semua isi di kepalaku padanya. Setelah puas dan mengucapkan selamat malam aku pun segera terlelap yang didahului dengan do`a tidur.
















EMPAT
Saat aku terbangun, kokokan ayam sudah tak terdengar lagi. Ada dua kemungkinan, pertama aku bangun terlalu pagi atau akunya yang kesiangan. “Tuhan, kuharap ini piihan pertama”, harapku dalam hati sambil melirik jam mickey mouseku. Aku segera terlonjak dari tempat tidur karena ternyata jam telah menunjukkan pukul 06.30. “tidaaaaaaaaaakkkkkk”, teriakku. Segera kekamar mandi untuk gosok gigi, berganti pakaian, memasukkan beberapa buku, memakai sepasang kaus kaki dan sepatu, serta tak lupa menyemprotkan farfum yang cukup banyak karena ya untuk menghindari ketidak nyamanan orang di sekitarku saja. Ku lirik jam dan bagus karena jam masih menunjukkan pukul 06.40 yang artinya masih ada waktu kurang lebih 20 menit untuk ke sekolah.
“Ma, Juli perrgi dulu ya”, ucapku sambil bergegas ke garasi.
“Enggak sarapan dulu, bekalnya belum mama masukin ni”, ucapnya sambil meghampiriku.
                “Oh, enggak usah Ma, Juli sarapan di sekolah aja ntar beli di kantin, udah telat nih Ma,” jawabku sembari menangkap tangan mama dan langsunng menciumnya.
                “Hati-hati ya Jul, jangan lupa sarapan,” ujar mamaku mengingatkan yang diikuti oleh bunyi klakson motorku.
                Tepat saat motor bebekku masuk pintu gerbang ditutup oleh Ajo, satpam sekolahku. Di sebelahku ternyata ada Putra yang sepertinya bersamaan tadi masuknya. Sekarang kekhawatiranku akan terlambat telah sirna tapi tiba-tiba aku teringat akan motor bebekku yang tanpa sadar ku parkirkan di dalam sekolah, bukan di luar. Ya ampun, mau keluar lagi mana mungkin tapi bagaimana nasib motorku nanti. Oke, keep calm. Berdoa dan berharap semua akan baik-baik saja. Lalu ku pandangi sekelilingku tak ada orang dan itu artinya aku bisa lega. Tapi tunggu dulu, tak ada seorang pun. Itu artinya aku ditinggalin sama Putra. Oh No!! Emm, bukannya aku berharap bisa berdua ke kelas dengannya tapi aku berharap masuk ke kelas bersamannya, jadi kalau aku dihukum setidaknya ada teman gitu. Huft. Segerak berlari menuju ke kelas dan masuk. Untung saja Pak Doni memberiku pengampunan dan membolehkanku duduk karena memang sebelumnya aku tak pernah terlambat. Tentunya dengan sedikit nasihat dan perjanjian untuk tidak terlambat lagi.
“Eh, kamu belom mandi ya?”, ucap Putra sambil menutup hidung. Kata-kata ini spontan membuat bulu kudukku berdiri. “Dari mana ni anak bisa tau, kemarin juga dia tau kalau aku gak bawak hp. Peramal kali ni anak”, ucapku dalam hati.
“Parfum kamu tu Jul, nyenget banget. Sengaja ya pakek banyak biar gak bau belum mandinya gak kecium,”ucapnya masih sambil menutup hidung.
“Enggak kok, aku udah mandi tau! Tadi parfumnya tumpah ke baju. Jadi kebanyakan nempelnya,” belaku sambil berkata dalam hati “apa gak ada alasan lebih bagus ya. Parfum tumpah? Emang bisa?”. Segera kualihkan perhatian ke depan agar terhindar dari kecurigaan Putra.
......................................................................................
Pelajaran bahasa Indonesia dan Agama telah berakhir dengan ditandai bunyi bel. Akhirnya waktu istirahat pun tiba.
                “Aku gak bawa bekal hari ini. Makan di kantin aja yuk,” ucapku kepada teman-temanku.
“Yuk, aku ambil bekalku dulul ya,” ucap Endah. Keluar dari kelas, belok kiri, lurus terus, lalu belok kanan dan sampailah kami di kantin. Ada soto bu`de, tekwan mang kom, sate uda, bakso mang adi, lenggang, dan berbagai jenis makanan ringan dan berat serta minumnya tersedia di sini.
Oke, aku pilih soto bu`de aja deh. Setelah memesan, aku kembali ke tempat duduk yang sudah disiapkan oleh teman-temanku. Setelah tiga menit menunggu, pesannanku datang dan bersamaan dengan itu pula ku lihat banyak orang riuh berkumpul. Ya, itu Putra. Sepertinya ia sedang di kejar-kejar para wanita. Kasihan juga sih ngeliatinnya, tapi ya sudah lah itu namamya resiko dia punya muka.
Bel masuku berbunyi dengan nyaring. Kami kembali ke kelas dan aku segera duduk di bangkuku. Roti isi aku keluarkan dari dalam saku jaketku dan segera kuberikan pada Putra.
“Nih, makan dulu. Aku tau dari tadi kamu belum makankan?,”ucapku tulus.
“Thanks, gimana mau makan, buat duduk di kantin bentar aja gak bisa. Dasar para cewek ABG,”ucapnya pula.
“Udah, buruan makan ntar keburu Bu Lidya masuk, lumayan tu buat ganjel perut,” ucapku.

to be continued